Rabu, 20 Juli 2011

Intervensi Penggunaan Zat Warna Alam

Intervensi Penggunaan Zat Warna Alam di UKM Batik Pekalongan


2011-06-14 06:54:40
Back to previous pagesSend via MailPrint This Document
Orientasi mencari nafkah yang dilakukan masyarakat terutama pengusaha dan perajin batik sering kali berbenturan dengan upaya pelestarian lingkungan. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pencegahan pencemaran akibat dari limbah produksi kerap kali terganjal karena biaya untuk melakukan pengolahan limbah dibutuhkan dana yang tidak sedikit, upaya menumbuhkan kesadaran untuk menyeimbangkan kegiatan ekonomi masyarakat dengan konservasi lingkungan harus menjadi bagian prinsip generasi muda untuk memikul tanggung jawab membawa Indonesia lebih maju di masa depan.
Kegiatan CBI yang diprakarsai oleh EKONID dan PPBN berupaya membagi ilmu dan pengetahuan dalam membuat batik dengan Zat warna alam dengan teknik yang mirip dengan penggunaan warna sintetis yang saat ini umum digunakan di kalangan pembatik, keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan zat warna alam ini tidak menimbulkan limbah B3 dan pada umumnya limbah dapat terdegradasi dengan sendirinya karena batik warna alam bahan yang digunakan berasal dari alam.
Saat ini permintaan konsumen batik di luar negeri mengarah kepada Go Green dan sangat peduli terhadap lingkungan termasuk pengusaha/UKM yang dalam proses produksinya sudah peduli dengan lingkungan akan lebih dicari oleh konsumen luar. Keberadaaan konsumen ini dari tahun ke tahun semakin meningkat dan perajin UKM yang begelut di Batim Zat Warna Alam masih tergolong sedikt di setiap daerah pembatikan.
Pekalongan merupakan program yang kedua kalinya dalam tahun ini untuk membagi ilmu kepada UKM mengenai teknik batik Zat warna alam yang notabene sudah peduli akan llingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia, daerah ini diaharapkan dapat mengimbangi permintaan pasar atas Batik zat warna alam. Bahkan prediksi tahun-tahun kedepan Batik zat warna alam akan menjadi trend permintaan dari konsumen luar maupun lokal, karena  seiring dengan teknologi maju dan masyarakat dengan pemikiran yang luas dan cerdas akan bisa memilih produk yang aman digunakan untuk kesehatan dirinya dan lingkungan.

Jambore Batik Warna Alam

KULIT MANGGIS SEBAGAI PEWARNA BATIK ALAMI

Annisa Saraswati, Devy Indah Lestari serta Bexzy Kurnilasari
Batik merupakan salah satu kerajinan yang mempunyai nilai seni tinggi dan menjadi budaya Indonesia yang terkenal sampai ke berbagai negara dan diakui UNESCO. Diantara berbagai jenis batik, batik alam merupakan jenis batik yang berkualitas tinggi, dan banyak diminati wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara. Hal itu dikarenakan batik alam diproduksi dengan pewarna alami dan memberikan kesan tersendiri sebab pewarna alami menyebabkan limbah yang dihasilkan ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan karena zat-zat yang terkandung dalam pewarna alami dapat mudah terurai sehingga tidak menimbulkan polusi, bahkan warna batik yang dihasilkan pewarna alam dapat bertahan sampai puluhan tahun. Namun, keunggulan batik alam tersebut tidak didukung kondisi saat ini. Kendala yang dialami oleh pengrajin batik alam adalah mereka sulit untuk bisa memenuhi permintaan secara cepat karena batik alam memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuatannya dan ketersediaaan bahan baku pewarna alam masih sangat minim. Bahan pewarnanya didapat dengan cara mengekstrak bagian-bagian dari tumbuhan penghasil celup, seperti batang, kulit kayu, daun, akar-akatran, bunga, biji-bijian, buah-buahan, dan getah pohon.
Melihat fakta tersebut, sekelompok mahasiswa UNY yaitu Annisa Saraswati jurusan kimia dan Devy Indah Lestari jurusan pendidikan IPA FMIPA UNY serta Bexzy Kurnilasari jurusan pendidikan teknik busana FT UNY mengeksploitasi kulit manggis sebagai pewarna alam untuk kain batik. Menurut Annissa Saraswati, mereka tertarik melakukan penelitian ini karena mengetahui bahwa kulit manggis mempunyai kandungan kimia yang banyak dan sangat menguntungkan. Kulit manggis mempunyai pigmen warna yang cocok untuk dijadikan sebagai pewarna serta mengandung sejumlah pigmen yang berasal dari dua metabolit, yaitu mangostin dan β-mangostin. Jika semua kandungan yang terdapat pada buah manggis tersebut diekstraksi, maka akan didapati bahan pewarna alami berupa antosianin yang menghasilkan warna merah, ungu, dan biru. Kulit buah manggis juga mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tannin dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tannin adalah salah satu zat warna yang terdapat dalam berbagai tumbuhan dan yang paling baik adalah dalam manggis. Devy Indah Lestari menambahkan bahwa selama ini bahan pewarna alami yang digunakan antara lain daun pohon nila (Indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleans arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (curcuma), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), dan daun jambu biji (Psidium guajava). Melalui pemanfaatan kulit manggis sebagai pewarna alami kain batik, diharapkan meningkatkan hasil produksi kain batik alam karena dapat membantu para pengrajin batik untuk memperoleh bahan baku pewarna alam selain menjadi sarana pengolahan limbah sehingga meningkatkan nilai guna buah manggis.
Bexzy Kurnilasari menerangkan pembuatan pewarna alami kain batik meliputi 2 tahap, membutuhkan sebanyak 2 kg kulit manggis kering. Dua kg kulit manggis kering dapat menghasilkan 80 liter pewarna kulit manggis. Tahap pertama pembuatan kulit manggis menjadi pewarna alam, dan tahap kedua pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis tersebut. Adapun tahapan proses pembuatan pewarna alam adalah kulit manggis dicuci, dikeringkan dan dihaluskan agar dalam ekstraksi mendapatkan hasil sempurna lalu diblender. Kemudian dimasukkan dalam petroleum eter. Setelah lemak dipisahkan kulit manggis diekstrak menggunakan etanol 95 % sedangkan larutan basa berair diekstrak dengan klorofom agar tannin terpisah dengan senyawa lainnya, lalu diuapkan untuk mendapatkan kristal warna coklat yang digunakan untuk mewarnai batik. Sedangkan pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis adalah kain dibuat motifnya lebih dahulu setelah itu dilakukan perekatan dengan malam untuk menahan warna. Proses berikutnya disebut medel yaitu pencelupan warna dasar kain pada zat warna yang berasal dari pengenceran kristal kulit manggis. Dilanjutkan dengan ngerok atau menghilangkan malam klowongan dan pengunaan malam ketiga (mbironi) disambung dengan menyoga / pencelupan zat warna yang kedua, ditambah memfiksasi kain dengan fiksator. Proses tersebut dilakukan berkali-kali sampai mendapatkan warna yang didinginkan. Selanjutnya mbabar/nglorod yaitu pembersihan seluruh malam yang menempel di kain dengan cara dimasak dalam air mendidih dengan ditambah air tapioka lalu dicuci dan dikeringkan dengan tidak terkena sinar matahari secara langsung

BATIK NUSANTARA

Monday, June 9, 2008

News in fashion

Star shoemaker Ferragamo with Audrey Hepburn

The famous platform shoe created for Judy Garland in 1938

Fathers in fashion
By : Cheong Phin

CHEONG PHIN pays tribute to Lacoste, Ferragamo and Pucci, pioneers of fashion houses that are still standing now.

FATHER’S Day is approaching and instead of drowning your thoughts with a long list of gift ideas from the fashion houses this season, let’s digress a little and acknowledge the importance of the founding fathers of some of these fashion houses such as Lacoste, Ferragamo and Pucci. At times, they are also hailed as the pioneers or “father” of fashion styles that remain trendy today.

Through unwavering devotion and hard work, these talented men subconsciously defined fashion in their time and in doing so, created the necessary foundation for their children to lead a privileged life and make good choices as custodians of the brand. On the occasion of the forthcoming Father’s Day, here’s a tribute to the “fathers in fashion” and their extraordinary impact and influence on the new generation of fashion players today.

RENÉ LACOSTE — father of “le crocodile” polo shirt

In 1927, René Lacoste, a legendary tennis champion of seven Grand Slam titles, made a wager with the captain of the French Davis Cup team that an alligator-skin suitcase (which they saw in a shop) be his reward for winning the next day’s match for the French team. Sadly, he did not win the match or the alligator-skin suitcase but was instead nicknamed “le crocodile” by the American Press for his tenacity on the tennis court.
Apparently, once he got his teeth on his opponent, he’d never let go. As he continued his winning streak with a ferocious display of tenacity on the courts, the name got stuck. With a little help from his friend, Robert George, Lacoste proudly embroidered a crocodile on his blazer pocket which he wore to the tennis courts.

By tradition, competitive tennis in those days required players to wear long-sleeved white shirts on court. Since most of the championships were held in the summer months, it became very hot for the players to wear such attire. Inspired by the shirts worn by the polo players in Argentina, the talented Lacoste developed his short sleeved version of the polo shirt by adding on a ribbed collar and using a cooler fabric called “jersey petit piqué” which he regularly wore for his practice sessions.

The pivotal point of this invention occurred in 1929 when Lacoste, a finalist in the French Open then, walked on court in this revolutionary short-sleeved tennis shirt, defying the tradition associated with the sport, and started a new trend on the tennis court. After retiring from the sport at an early age of 25, Lacoste went on to set up a company with André Gillier, owner of France’s largest knitwear manufacturing firm to produce his famous polo shirt with the embroidered crocodile logo and dare I say, the most copied invention in the history of fashion.

The first Lacoste shirt in white is now reproduced in more than 50 different colours and the qualities of comfort and solidity upon which it built its name still shine through today. In 1963, René’s eldest son Bernard Lacoste took over the business and expanded it into a worldwide operation until his retirement in 2005. His younger brother and closest collaborator Michel Lacoste became his successor and remains the proud chairman and CEO of his father’s retail empire.

SALVATORE FERRAGAMO — father of “shoemaking to the Stars”

One of the earliest platform shoes ever made was by the incomparable shoe maker Salvatore Ferragamo who has been credited in the fashion industry with “inventing” the platform shoe. He was granted the first patent in the history of fashion for a cork wedge heel he concocted in 1937 when faced with a shortage of materials for his shoe creations.

The cumbersome sole proved to be a sturdy platform for walking and in 1938, Ferragamo created the famous platform sandal for Judy Garland which contained layers of different coloured chamois with an upper made of padded gold kid straps with a buckle.

Ferragamo went to the United States at a tender age of 16 and in 1923, opened his Hollywood Boot Shop which was frequented by film actresses. While courting these Hollywood royalties, he worked with movie studios and produced shoes for legendary film director Cecile B De Mille’s The Ten Commandments.

With his daring approach to shoe-making, he was subsequently dubbed as the “Shoemaker to the Stars” and in 1947, created the black velvet “Ava Sandal” for Hollywood beauty Ava Gardner and the famous suede platform heel “Evita” sandals for Eva Peron on her first trip to Italy. Creating shoes for Hollywood stars never waned in the post-War years and in 1954, Ferragamo wrapped Audrey Hepburn with one of his most famous creations: a suede ballerina with a strap. Today, the “shoemaker to the Stars” tag is shared by many but Ferragamo shoes remain a strong favourite.

After his death in 1960, the successful shoe business empire was valiantly continued by his daughter Fiamma. She truly inherited her father’s passion for his craft by creating two signature classics for the house — the “Vara” shoe and “Gancino” handbag. Fiamma sadly passed away in 1998 but the Italian fashion empire remains a family-run business today with the rest of the Ferragamo descendants.

EMILIO PUCCI — father of “geometric pop prints”

To an extent, the geometric prints in bright pop colours on silk jersey knit dresses by Emilio Pucci defined the fashion of 1960s. It all began in the early 1950s when Pucci began developing his signature prints — graphic, abstract designs which swirled in a kaleidoscope of colour.

An aristocrat by birth, Emilio Pucci naturally understood the needs of post-War jet set glamour and subsequently set up a boutique in Capri. It soon became the mecca for the jet-setters of the time and fans included heiress Gloria Guinness and actress Sophia Loren.

By the 1960s, Emilio developed stretch into fabrics with elasticised silk shantung and the luscious Pucci print went on to become a status symbol attracting the likes of Jacqueline Kennedy, Audrey Hepburn and Marilyn Monroe. The international fashion Press was smitten by his bold new design and hailed him as the “prince of prints”.

After a glitch in the 1970s, Emilio’s daughter Laudomia Pucci began to take over the business in 1990s and formed a strong alliance with luxury giant LVMH in 2000. She remains an active Image Director of the brand today, working closely with creaw Williamson.

Batik Warna Alam

Sekilas Tentang Zat Warna Alam Untuk Tekstil

by:Noor Fitrihana

 

Ditinjau Dari sumber diperolehnya zat warna tekstil dibedakan menjadi 2 yaitu:
  1. zat pewarna alam, diperoleh dari alam yaitu bersal dari hewan (lac dyes) ataupun tumbuhan dapat berasal dari akar, batang, daun, buah, kulit dan bunga.
  2. Zat pewarna sintetis adalah zat warna buatan (zat warna kimia) .Oleh karena banyaknya Zat warna sintetis ini maka untuk pewarnaan batik harus dipilih zat warna yang:
a. Pemakaiannya dalam keadaan dingin atau jika memerlukan panas suhu proses tidak sampai melelehlan lilin.
b. Obat bantunya tidak merusak lilin dan tidak menyebabkan kesukaran kesukaran pada proses selanjutnya.
Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah : daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (ceriops candolleana arn), kayu tegeran (cudraina Javanensis), kunyit (curcuma), teh (the), akar mengkudu (morinda Citrifelia), kulit soga jambal (pelthophorum ferruginum), kesumba (bixa orelana), daun jambu biji (psidium Guajava). (Sewan Susanto,1973)
Menurut R.H.MJ. Lemmens dan N Wulijarni-Soetjipto dalam bukunya Sumber Daya Nabati Asia Tenggara Nn.3 (tumbuhan-tumbuhan penghasil pewarna dan tannin,1999), sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, di dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Pada umumnya olongan pigmen tumbuhan adalah klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon. Pewarna nabati yang digunakan untuk mewarnai tekstil dapat dikelompokkan menjadi 4 tipe menurut sifatnya :
1. Pewarna langsung dari ikatan hydrogen dengan kelompok hidroksil dari serat; pewarna ini mudah luntur contohnya (kurkumin)
2. Pewarna asam dan basa yang masing-masing berkombinasi dengan kelompok asambasa wol dan sutra; sedangkan katun tidak dapat kekal warnanya jika diwarnai; contohnya adalah pigmen-pigmen flavonoid.
3. Pewarna lemak yang ditimbulkan kembali pada serat melalui proses redoks, pewarna ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan pencucian (contohnya tarum).
4. Pewarna mordan yang dapat mewarnai tekstil yang telah diberi mordan berupa senyawa etal polivalen; pewarna ini dapat sangat kekal contohnya alizarin dan morindin.
Dalam pencelupan dengan zat warna alam pada umumnya diperlukan pengerjaan mordanting pada bahan yang akan dicelup / dicap dimana proses mordanting ini dilakukan dengan merendam bahan kedalam garam-garam logam, seperti aluminium, besi, timah atau krom. Zat-zat mordan ini berfungsi untuk membentuk jembatan kimia antara zat warna alam dengan serat sehingga afinitas zat warna meningkat terhadap serat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian perubahan sifat fisika dan kimia kain sutera akibat pewarna alami kulit akar mengkudu yang dilakukan Tiani Hamid dan Dasep mukhlis (2005) menunjukkan bahwa penggunaan mordan dapat mengurangi kelunturan warna kain terhadap pengaruh pencucian. Hal ini menunjukkan senyawa mordan mampu mengikat warna sehingga tidak mudah luntur.
Tabel 1. Zat warna alam untuk Tekstil
No
Kelompok Bagian tumbuhan Sumber zat warna
1 kayu Kruing, Nangka,Tegeran, Bengkirai,Mranti,Secang,Jati (Sekam), ulin
3 Akar Mengkudu
4 Daun Ketepeng, Jambu biji, Jati, Tom (indigofera),Kepel, Pacar air, Alpukat, Urang Aring
5 Kulit buah Manggis, Kedelai, Kara BengukSabut kelapa
6 Kulit kayu Jambal, Tingi, Pinus Merkusi
7 Getah Gambir
8 Bunga Sari kuning
10 Biji Alpukat, Bixa Orelana, Kacang merahMakutodewo
Dari berbagai referensi hasil penelitian tentang zat warna alam yang telah dibaca oleh tim peneliti, pemanfaatan zat warna alam pada umumnya masih menggunakan teknik pencelupan untuk mewarnai bahan tekstil. Oleh karena itu tim peneliti merasa perlu untuk mengembangkan penggunaan zat warna alam dengan teknik pencapan sablon. Hal ini didasari bahwa teknik pencapan sablon telah memasyarakat sehingga mudah dipelajari disamping itu akan dapat memperpendek waktu produksi jika digunakan untuk membuat motif batik pada kain oleh para pengrajin. Dari hasil penelitian ini diharapkan meningkatkan produktivitas penggunaan zat warna alam untuk batik dan produk kerajinan.

Akar Tumbuhan

Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik - Thread Not Solved Yet


Akar Tumbuhan Bisa Menjadi Pewarna Kain Batik - Thread Not Solved Yet
 

Haris Riadi, seniman batik Desa Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, kembali menemukan terobosan baru di dunia batik, belum lama ini. Ia mengolah berbagai tumbuhan dan akar seperti temulawak, akar mengkudu, kayu manis, dan jelawemenjadi zat pewarna batik. Selama ini tetumbuhan tersebut dikenal sebagai bahan baku pembuat jamu.

Haris menjelaskan selain wangi, zat pewarna batik dari tumbuhan dan akar diyakini mampu memberi rasa hangat pada pemakai batik.Selain itu, harga bahan-bahan alami ini juga jauh lebih murah dibanding zat-zat pewarna kimia yang selama ini digunakan para pembatik umumnya.Yang lebih penting lagi, kata Haris, limbah dari pewarna alami aman dan tidak merusak lingkungan.

Haris mengatakan, untuk menghasilkan warna-warna alami, tumbuhan serta akar-akaran terlebih dulu direbus hingga mendidih. Agar bisa menghasilkan warna kecoklatan, diperlukan kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe.

Haris berharap dengan penemuan bahan pewarna alami ini, pencemaran lingkungan akibat limbah batik bisa dikurangi.Apalagi selain mudah didapat, karya batik dari warna alami itu juga memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibanding batik pewarna kimia.

Pewarna Alami untuk Batik Nabati

11 Nopember 2008 No Comment
Pewarna alami tak hanya sehat untuk makanan.Untuk pakaian pun, pewarna non-kimia itu juga berefek baik bagi tubuh.Salah satunya tidak membuat kulit iritasi, gatal-gatal atau alergi.
Penggunaan pewarna alami untuk pakaian salah satunya diterapkan pada batik nabati dari Kota Batu.Batik yang kesannya “adem” itu menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam Seminar Green Product di Widyaloka Universitas Brawijaya, kemarin.
Jenis pewarna alami pun bermacam-macam. Di antaranya buah pinang untuk warna merah, kayu manis untuk warna kecokelatan, daun jambu biji untuk warna kecoklatan dan daun alpukat untuk warna hijau. “Warna-warna itu, nantinya dicampur lilin dan dimasukkan dalam canting untuk membatik,” ungkap Yusuf, salah seorang pengelola Olive batik.
Menurut Yusuf, warna-warna alami memang tidak “ngejreng” seperti halnya warna sintetis. Batik nabati justru terlihat kusam dan terkesan lawas. Kecuali, dikombinasi atau dipadukan dengan pewarna sintetis dalam kadar tertentu. Sementara batik cetak, warna dan ornamennya terlihat lebih menyala dan terang.“Kalau penyuka batik, pasti tahu batik yang terkesan lawas ini menggunakan pewarna alami ini,” kata Yusuf.
Untuk batik-batik dengan pewarna alami yang harus dibatik dengan tangan, konsumennya terbatas.Lebih condong pada konsumen kelas atas, termasuk kalangan pengusaha. Karena konsumennya khusus itu, maka harganya juga jauh lebih mahal dari batik cap (buatan pabrik). “Orang-orang Cina banyak yang suka.Memang mereka cari yang alami dan asli kerajinan tangan,” tandas Yusuf. (yos/lia/radarmalang)
Keywords: batik, seminar, UB
KULIT MANGGIS SEBAGAI PEWARNA BATIK ALAMI
18 June, 2010 - 13:26 by dedy  
Batik merupakan salah satu kerajinan yang mempunyai nilai seni tinggi dan menjadi budaya Indonesia yang terkenal sampai ke berbagai negara dan diakui UNESCO.Diantara berbagai jenis batik, batik alam merupakan jenis batik yang berkualitas tinggi, dan banyak diminati wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara.Hal itu dikarenakan batik alam diproduksi dengan pewarna alami dan memberikan kesan tersendiri sebab pewarna alami menyebabkan limbah yang dihasilkan ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan karena zat-zat yang terkandung dalam pewarna alami dapat mudah terurai sehingga tidak menimbulkan polusi, bahkan warna batik yang dihasilkan pewarna alam dapat bertahan sampai puluhan tahun.Namun, keunggulan batik alam tersebut tidak didukung kondisi saat ini. Kendala yang dialami oleh pengrajin batik alam adalah mereka sulit untuk bisa memenuhi permintaan secara cepat karena batik alam memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuatannya dan ketersediaaan bahan baku pewarna alam masih sangat minim. Bahan pewarnanya didapat dengan cara mengekstrak bagian-bagian dari tumbuhan penghasil celup, seperti batang, kulit kayu, daun, akar-akatran, bunga, biji-bijian, buah-buahan, dan getah pohon.
Melihat fakta tersebut, sekelompok mahasiswa UNY yaitu Annisa Saraswati jurusan kimia dan Devy Indah Lestari jurusan pendidikan IPA FMIPA UNY serta Bexzy Kurnilasari jurusan pendidikan teknik busana FT UNY mengeksploitasi kulit manggis sebagai pewarna alam untuk kain batik. Menurut Annissa Saraswati, mereka tertarik melakukan penelitian ini karena mengetahui bahwa kulit manggis mempunyai kandungan kimia yang banyak dan sangat menguntungkan. Kulit manggis mempunyai pigmen warna yang cocok untuk dijadikan sebagai pewarna serta mengandung sejumlah pigmen yang berasal dari dua metabolit, yaitu mangostin dan β-mangostin. Jika semua kandungan yang terdapat pada buah manggis tersebut diekstraksi, maka akan didapati bahan pewarna alami berupa antosianin yang menghasilkan warna merah, ungu, dan biru. Kulit buah manggis juga mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tannin dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tannin adalah salah satu zat warna yang terdapat dalam berbagai tumbuhan dan yang paling baik adalah dalam manggis. Devy Indah Lestari menambahkan bahwa selama ini bahan pewarna alami yang digunakan antara lain daun pohon nila (Indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleans arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (curcuma), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), dan daun jambu biji (Psidium guajava). Melalui pemanfaatan kulit manggis sebagai pewarna alami kain batik, diharapkan meningkatkan hasil produksi kain batik alam karena dapat membantu para pengrajin batik untuk memperoleh bahan baku pewarna alam selain menjadi sarana pengolahan limbah sehingga meningkatkan nilai guna buah manggis.
Bexzy Kurnilasari menerangkan pembuatan pewarna alami kain batik meliputi 2 tahap, membutuhkan sebanyak 2 kg kulit manggis kering.Dua kg kulit manggis kering dapat menghasilkan 80 liter pewarna kulit manggis.Tahap pertama pembuatan kulit manggis menjadi pewarna alam, dan tahap kedua pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis tersebut. Adapun tahapan proses pembuatan pewarna alam adalah kulit manggis dicuci, dikeringkan dan dihaluskan agar dalam ekstraksi mendapatkan hasil sempurna lalu diblender. Kemudian dimasukkan dalam petroleum eter. Setelah lemak dipisahkan kulit manggis diekstrak menggunakan etanol 95 % sedangkan larutan basa berair diekstrak dengan klorofom agar tannin terpisah dengan senyawa lainnya, lalu diuapkan untuk mendapatkan kristal warna coklat yang digunakan untuk mewarnai batik. Sedangkan pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis adalah kain dibuat motifnya lebih dahulu setelah itu dilakukan perekatan dengan malam untuk menahan warna. Proses berikutnya disebut medel yaitu pencelupan warna dasar kain pada zat warna yang berasal dari pengenceran kristal kulit manggis. Dilanjutkan dengan ngerok atau menghilangkan malam klowongan dan pengunaan malam ketiga (mbironi) disambung dengan menyoga / pencelupan zat warna yang kedua, ditambah memfiksasi kain dengan fiksator. Proses tersebut dilakukan berkali-kali sampai mendapatkan warna yang didinginkan. Selanjutnya mbabar/nglorod yaitu pembersihan seluruh malam yang menempel di kain dengan cara dimasak dalam air mendidih dengan ditambah air tapioka lalu dicuci dan dikeringkan dengan tidak terkena sinar matahari secara langsung

Batik Pohon

Salah Menyikapi, Pengakuan UNESCO Bisa Melayang Pergi


Eforia batik luar biasa setahun belakangan, oleh Zahir Widadi, dinilai banyak yang salah kaprah, bahkan bisa berakibat buruk. Direktur Museum Batik Pekalongan yang sekaligus salah satu tokoh yang ikut mendorong agar Batik mendapat pengakuan Unesco sebagai Warisan Budaya Non Benda Indonesia ini menyatakan bahwa kebanggaan terhadap batik disalahtafsirkan dengan menggerakkan produksi batik yang banyak dilakukan sekadar asal buat dan tidak mengikuti prasyarat yang menjadi alasan mengapa mendapat pengakuan Unesco. Batik sablon (bahkan sablon lilin/malam sekalipun), apalagi batik printing mesin, perkembangannya yang meluas akan mengganggu penilaian Unesco. Pembuatan batik yang semakin menyalahi pakem, bisa merontokkan pengakuan UNESCO pada 3 tahun mendatang, ketika mereka kembali mengaudit. Demikian dinyatakan Zahir Widadi dalam diskusi spontan di depan stand Batikpohon pada Jambore Batik Warna Alam di Pekalongan baru-baru ini.

Cinta Tradisi Sayangi BumiTanggal 21 April batikpohon kartinian bersama perajin batik warna alam lain di Alun-Alun Indonesia, Level 3 West Mall Grand Indonesia. Kali ini Batikpohon diundang untuk menampilkan karya-karya  batik warna alamnya. Menperindag Marie Pangestu menyempatkan diri berkunjung dan membeli salah satu produk batikpohon.

Apresiasi tak terduga datang kepada batikpohon dari begitu banyak penyuka batik Indonesia. Kolektor, penggiat batik, media bahka tokoh fashion sekelas Oscar Lawalatta datang dan meminang beberapa koleksi terbaik batikpohon. Bagi batikpohon apresiasi ini akan menjadi pemacu untuk lebih baik lagi. Ajang Gelar Karya PKBL BUMN sangat berarti meskipun baru hanya dapat dukungan dan persiapan yang masih setengah hati.


Penantian batikpohon selama setahun untuk bisa mengikuti salah satu salah satu event pameran terbaik bagi kerajinan Indonesia bermedia kain segera terlaksana. Tidak mudah untuk bisa mengikuti pameran ini dengan hanya menampilkan produk batik yang benar-benar dibuat sendiri oleh batikpohon dan bukan produk titipan atau mengambil dari perajin lain.
Rupanya tak mudah untuk menyelesaikan proses membatik, mencelup hingga lebih 30 kali untuk setiap lembar kain, terus menerus hingga berjumlah lebih dari seratus lembar kain batik tulis dengan pewarna dari bahan pewarna alami. Semuanya sangat menguras konsentrasi, tenaga, kesabaran  dan menjadi semakin menantang ketika menyadari kemampuan modal yang kebetulan jauh dari berlimpah.
Adiwastra 2011 menjadi ajang pameran dengan kemandirian batikpohon secara penuh untuk bisa berpartisipasi di dalamnya. Institusi yang semula diharapkan akan membantu mensponsori, hingga menjelang pendaftaran ditutup, tak kunjung memberi lampu kuning dukungan , apalagi lampu hijau.
Semangat berkarya dengan segenap cinta pada batik dan keinginan untuk membuktikan bahwa batik dengan pewarna bahan alam akan memiliki daya tarik untuk merebut perhatian pecinta karya kerajinan batik tradisional Indonesia, merupakan alasan yang menguatkan semangat untuk mengikuti pameran ini.
Batikpohon mengajak semuanya agar menjadikan batik dengan pewarna alami sebagai alternatif pilihan. Karena ada sebuah keyakinan dengan memilikinya dan mengapresiasi varian batik ini, maka setidaknya akan memberi kesempatan pengembangannya. Pada gilirannya nanti, sedikit demi sedikit akan mempertinggi originalitas warisan budaya ini karena batik warna alam memiliki muatan lokal yang lebih banyak. Proses pembuatannya pun lebih ramah lingkungan, karena kadar pencemaran air dan tanah yang ditimbulkan relatif rendah.
Batikpohon menawarkan pilihan, lebih dari sekadar motif dan warna, tapi juga pilihan cara mencintai batik sebagai warisan tradisi dan cara ikut mencintai bumi Indonesia.

Proses Pembuatan

Pada prinsipnya, pembuatan batik warna alam ini dari desain hingga aplikasi lilin ke kain tidak berbeda jauh dari batik tulis warna sintetis. Motif dibuat ke atas kain dengan canting tulis atau dengan cap. Pewarna yang digunakan dan pengunciannya saja yang membedakan. Tentu saja disamping jumlah pencelupan warna alam yang jauh lebih banyak, yaitu hingga mencapai 20-30 kali pencelupan untuk setiaplembar batik

Kembalikan ke Bumi

Sebagai bentuk imbal balik atas yang alam berikan berupa tanaman bahan pewarna alam untuk produk batikpohon, dari setiap kelipatan Rp 20.000,-untuk setiap batik yang Anda beli, Rp 500,- diantaranya akan kami sisihkan untuk upaya mendukung upaya penanaman kembali tanaman bahan pewarna alami.

Batikpohon 100% Batik Tulis & Batik Cap

Cara pembatikan dengan canting tulis merupakan pilihan utama Batikpohon. Setiap motif dibuat sangat terbatas sehingga lebih eksklusif. Demikian juga dengan batik cap yang kami buat tidak diproduksi dalam jumlah yang sangat masal. Batik pohon menerapkan cara terbaik pengerjaan batik seperti seharusnya batik dibuat.

Batik

Aneka Daun

 

Di sekitar rumah saya banyak juga tanaman yang mungkin dapat di jadikan sumber untuk pewarna alam. Maklum di belakang rumah terdapat kebun yang tampilannya mirip hutan lindung, terdapat berbagai spesies tanaman yang dapat dijadikan eksperimen untuk pembuatan pewarna alam. Dimulai dengan daun jambu dan daun mangga yang menurut beberapa referensi, dapat dipakai menjadi bahan dasar pewarna alam. Hasilnya, kain yang dicelup dengan daun jambu cenderung berwarna khaki sedangkan pewarnaan menggunakan daun mangga memunculkan warna hijau muda (pupus). Ketika larutan ditambah dengan tawas, warna yang muncul menjadi lebih kuat (tua). Tetapi semua hasil pewarnaan ini hanya memunculkan warna-warna muda. Mungkin anda juga punya pengalaman membuat pewarna alam? bisa juga di bagi-bagi ilmunya disini…silahkan….